Mendaki Bukit Ratapan Angin di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah butuh effort tinggi. Meski jalannya sudah dibuat semudah mungkin, dibuat seperti tangga, tapi tetap saja saya kesulitan. Kayaknya berasa malu banget kalau nggak kuat sampai atas, apalagi dengan sejarah di masa sekolah saya menjadi anggota pecinta alam. Kayak nggak ada sisanya sebagai pendaki gunung gitu loch.
Baca:
- Pengalaman Nonton Dieng Culture Festival 2019
Baru mendaki beberapa meter, saya udah kesulitan nafas, capek banget. Lalu melihat teman seperjalanan satu kelompok yang menyerah dan memilih nongkrong di warung. Sayapun tergoda ikutan masuk warung dan duduk, hadeuh.
Jadi kalau yang belum pernah ke sana, banyak bebatuan besar di kanan kiri. Jalanann tergolong lebar, sudah disemen, jika ada lahan tanpa batu, banyak warung makan dan minuman. Saya ikutan duduk di situ, banyak juga yang nonkrong sambil makan indomie telor, menggoda si. Tapi saya lebih memilih teh manis panas, soalnya saat itu udah berasa mau flu. Jadi badan ditimpa sama air panas terus kalau minum.
Pas lagi asik minum teh panas, saya melihat foto-foto di sekitar tembok warung. Ada pemandangan yang Masya Allah indahnya, seperti lukisan.
''Nanti di atas pemandangan kayak gitu pak?'' tanya saya kepada si bapak di sebelah.
''Iya, itu Telaga Warna dan Telaga Pengilon, jadi ada dua telaga dengan warna berbeda,'' katanya.
''Masih jauh gak pak?''
''Gak jauh, paling 300 meter.''
Mendadak muncul semangat 45 saya untuk memaksakan diri naik ke atas. Pelan tapi pasti, saya pun sampai tujuan (lebay banget). Dikejauhan sudah banyak orang yang mengambil foto, saya menyeruak di antara orang-orang yang berkerumun memandang view di hadapannya. Sayapun terpukau sodara-sodara. Indah sekali. Berasa melihat lukisan secara live. ''Maka Nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?''
Bebatuan dan tebing di Bukit Ratapan Angin |
Ibarat kanvas yang telah dilukis, kesempurnaan lukisan Telaga warna dapat dinikmati secara detail dari atas batu yang membentuk agak kotak dan satunya lagi berdiri kokoh disampingnya, hembusan angin sering terasa kencang dan menimbulkan suara mendesis seperti orang meratapi kesedihan, barangkali itulah kenapa dua buah batu ini diberi nama batu ratapan.
Konon, Dieng ini adalah sisa letusan gunung purba yang kini banyak ditemui sisa bebatuan tebing curam dan semacamnya. Di Bukit ini banyak sekali batu besar yang tentunya dari dalam gunung yang pernah meletus. Jadi kita harus banyak mendaki agar bisa melihat keindangan Dieng.
Setelah puas foto-foto, itu juga rebutan sama yang lain, saya melipir. Ada beberapa spot yang bagus untuk foto, oiya ada juga foto bareng burung hantu. Sebenarnya kasihan sih, burung hantu itukan hewan malam, jadi dia tidur di siang hari. Kasihan dipaksa untuk melek agar bisa foto bersama. Dan saya juga ikutan foto bareng lagi meski ketakutan heheheh. Soalnya burung hantu termasuk binatang buas lho, jadi ada kebanggaan tersendiri foto bareng binatang buas. Ada beberapa burung yang ngantuk, kadang matanya terpejam. Kasihan lho, serius. Oiya, di sini bayar seikhlasnya untuk foto bareng.
Tak lama saya pun turun, di pertengahan jalan menuju bawah ada sekelompok memainkan musik tradisional, menarik. Jadi wisatawan bisa memberikan uang ke dalam kotak yang ditaruh di pinggir jalan. Oiya tiket masuknya Rp 10 ribu, dibeli di pos penjagaan di kaki bukit.
Tips:
1. Gunakan sepatu nyaman, kets atau sendal gunung
2. Siapkan botol minum
3. Jangan khawatir toilet umum, banyak
4. Siapkan kamera, jangan abaikan keindahan alam sekitar
Semoga Bermanfaat
AAL
Wah, itu pemandangannya cantik banget. Memang Dieng keren sih. Saya dulu ke Dieng ke candinya saja, nggak naik ke danau. Kapan-kapan boleh nih, dicoba.
ReplyDeleteKira kira kira berapa lama mbak perjalanan nya
ReplyDelete